D an Herman disebut beberapa referensi sebagai pencetus istilah FoMO. Istilah ini muncul pada tahun 1990-an ketika Herman yang merupakan konsultan perusahaan besar seperti Coca-Cola, IBM, Roche Pharmaceuticals, Unilever, Motorola, Comverse, Holiday Inn, Apple Computers, Suzuki, Chrysler, hingga Warner Brothers ini meneliti psikologi konsumen dan fenomena sosial-budaya.
Menurutnya, FoMO muncul sebagai akibat dari fenomena masyarakat yang seolah-olah saat ini selalu terkoneksi dengan jejaring komunikasi atau internet. Juga, karena adanya kondisi atau lebih tepatnya imajinasi untuk selalu mengikuti perkembangan.
S ejak artikel sebelumnya FoMO, Penyakit Blogger yang Berbahaya tayang … banyak status medsos (blogger) yang membahas soal ini, rasanya mulai dari a-to-z, mulai dari pengakuan sampai pembelaan, pro-kontra, dan ada yang langsung bilang bahwa “saya terkena FoMO”. Saya tidak akan membahas itu, melainkan hanya ungkapan terakhir saja.
Anda FoMO? jawabannya bisa iya dan bisa tidak. Semua tergantung dari indikasi yang muncul. Sama seperti penyakit fisik lainnya, selalu ada tanda-tanda awal sebelum seseorang divonis mengidap penyakit. Begitu juga dengan kondisi mental (psikologis) seseorang. FoMO sebagai sebuah fenomena, jika tidak ingin disebut penyakit, harus dilihat terlebih dahulu indikasinya.
S ering update status, sering bikin hastag #berkahngeblog, sering ingin menjadi blogger yang lebih profesional sehingga selalu melihat status atau pencapaian blogger lain tidak bisa dikatakan langsung bahwa kita terserang FoMO.
Bisa jadi, di satu sisi, itu adalah tindakan atau desakan untuk melakukan prestasi. Menurut psikolog David McClelland (1961) bahwa menusia (blogger) butuh untuk berprestasi alias needs for achievement. Teori yang memperkenalkan simbol n-Ach ini mengungkapkan bahwa setiap individu selalu ingin pekerjaannya berhasil dan mendapat imbalan; tidak hanya bersifat materi saja tetapi juga kepuasan sampai pada penghormatan.
Di sisi lain, bisa jadi kondisi itu sebenarnya bukan FoMO, tetapi narsis alias Narcissistic Personality Disorder (NPD). Sebuah kondisi mental yang menunjukkan seolah-olah (sang blogger) sudah menjadi seleb dan selalu mencari pembenaran diri dengan puja-puji orang lain (baca M. Twenge dan Campbell 2009; Ann M. King et.all 2010). Blogger yang memiliki kebutuhan untuk menunjukkan secara berlebihan dirinya telah mencapai sesuatu.
Nah, sebelum mengkail kita terkenal FoMO atau malah menjadikan FoMO sebagai bahan ejekan, ada baiknya untuk mengenali gejala-gejalanya.
Gejala FoMO
K risti Hedges (2014) dan Andrew K. Przybylskia et.all (2013) bahkan memberikan beberapa ciri khusus tentang gejala FoMO. Meski bisa terjadi pada siapa saja, namun dalam konteks ini saya hanya membatasi diri pada fenomena blogger, selain untuk kebutuhan akademis dan juga buku yang akan saya terbitkan dalam seri bloggerpreneur.
- Selalu mewajibkan diri mengecek media sosial
Gejala FoMO berbeda dengan kebiasan pada umumnya dalam mengecek media sosial. Seorang yang dengan gejala FoMO memiliki rutinitas untuk melihat media sosial milik blogger lainnya. Ia merasa harus selalu up-to-date apa yang sedang dibincangkan, apa yang dilakukan, dan apa yang dipublikasikan di media sosial oleh blogger lainnya.
Alih-alih sekadar membaca status Facebook blogger, sebagai misal, mereka yang mengidap gejala FoMO memiliki rasa takut yang berlebihan apabila ia dikatakan sebagai kudet. Juga, ia akan menderita jika status medsosnya termasuk postingan blog sepi dari pengunjung dan komentar.
Di sisi lain, ia akan merasa senang, bahagia, bahkan bangga jika ada yang memberikan komentar (atau memuji) di akun medsosnya. Ada kebutuhan untuk selalu eksis dan ‘ada’ setiap saat di dunia virtual. Ada kebutuhan untuk menjadi yang tahu pertama kali di dunia perbloggeran. Kebutuhan ini seolah-olah menjadi hantu yang selalu muncul setiap bangun dan menjelang mau tidur.
Kondisi ini sebenarnya menjadi bahaya dalam berbagai keadaan. Menurut Turkle (2011), kebutuhan akan selalu terkoneksi ke internet dalam berbagai situasi bisa memberikan dampak buruk. The position a strong desire to stay continuously connected is potential ly dangerous as it encourages people to check in with their digital technology even when they are operating motor vehicles.
- Selalu memaksa diri berpartisipasi dalam semua kegiatan
Dalam kondisi normal, mendatangi sebuah acara atau sebuah tempat bahkan lomba bagi blogger adalah upaya n-Ach untuk meningkatkan dirinya. Namun, dalam gejala FoMO, blogger seolah-olah butuh untuk selalu hadir disetiap kegiatan tersebut. Tidak hanya hadir, ia akan membuat keberadaannya diakui dan berbeda.
Ada kebutuhan, lebih tepatnya rasa takut, menjadi blogger yang ketinggalan sebuah kegiatan. Sehingga semua hal diikuti dan ditulis di status Facebook-nya. Uniknya lagi, ia menjadikan blogger (buzzer) profesional menjadi panutan.
Pengidap FoMO sering membuat standar blogger yang berbeda. Standar itu disematkan kepada blogger yang menurut mereka sudah seleb dan langitan sehingga apa yang dilakukan termasuk update status pun ikut-ikutan. Alih-alih bikin status menang sesuatu dengan hastag #berkahngeblog sebagai upaya memotivasi orang lain, pengidap FoMO melakukannya untuk mendapat pujian dan eksistensi diri yang berlebihan.
Tak heran, sekecil apapun langsung diumumkan sebagai #berkahngeblog, foto-foto dapat naik kendaraan baru pun yang diunggah di Path atau Instagram juga dianggap sebagai #berkahngeblog. Yang penting ‘saya juga seperti blogger seleb lainnya itu’.
- Selalu ingin lebih dan merasa diri kekurangan
Menjadi blogger yang hanya menulis jurnal keseharian secara online adalah hal biasa. Menjadi blogger yang mendapat sesuatu atau berprestasi adalah hal yang luar biasa. Menjadi blogger yang selalu merasa dirinya terus-menerus sebagai remahan rengginang ini baru tidak biasa.
FoMO muncul salah satunya karena adanya keterasingan diri di dunia offline sehingga pengidap FoMO mencari pengakuan di dunia online. Namun, apa jadinya jika di dunia online pun ia tetap merasa terasing. Ada keinginan yang sifatnya destruktif dan menggerogoti jiwa blogger yang FoMO itu.
Selanjutnya, sang blogger akan membentuk lingkarannya sendiri. Mereka, teman-teman di Facebook misalnya, yang selalu mendukung dirinya setiap status akan mendapat perhatian lebih; meski sebenarnya sang blogger dengan “temannya” tidak kenal sama sekali dan belum pernah berjumpa.
Gejala FoMO ini bisa memunculkan stress, depresi, dan kelainan mental lainnya.
- Selalu membuat panggung pertunjukkan sendiri
Dalam kajian dramaturgi Eving Goffman (1959), dijelaskan bahwa setiap individu memiliki beberapa panggung dalam kehidupannya. Panggung itu bisa di front-stage (online) dan bisa juga di back-stage (offline). Di panggung itulah individu merepresentasikan dirinya dalam kehidupan sehari-hari.
Gejala FoMO menunjukkan bahwa medsos, termasuk blog, adalah panggung pertunjukkan bagi sang blogger. Oleh karena itu, ia harus selalu tampil dan memberikan kesan yang tidak biasa kepada pengunjungnya. Semua status Facebook, cuitan di Twitter, foto di Path dan Instagram, bahkan data diri di Linkedin pun berjejer dengan prestasi dan capaiannya.
FoMO kadang mencuri panggung orang lain. Misalnya ada ada blogger X yang menulis status tentang capaiannya memenangi lomba, maka sang FoMOer langsung ikut menulis di komen blogger X tentang pencapaiannya juga, seperti “wah, selamat ya, Mbak. Aku juga loh pernah dapat juara dari lomba perusahaan anu, duinta lebih gede dikit dari yang Mbak dapat. tetap disyukuri aja”.
Yang lebih parah adalah tidak hanya membangun panggung di atas panggung orang lain, tetapi di atas panggung itu seolah-olah membentuk “kambing hitam” dari ketidakmampuannya. Misalnya lagi kembali di status blogger X yang memenangi lomba, si FoMOer langsung juga berkomentar “Ah, aku sebenarnya mau ikut lomba itu kemarin, tapi syaratnya mesti nulis di bawah 1000 kata. Lah, aku biasanya nulis panjang-panjang, kok” atau “Ah, jurinya aja yang menangin kan si itu temen blognya”.
A nda FoMO? Jangan mengklaim atau mempermainkan istilah FoMO, karena ini adalah kondisi mental yang sekali lagi kadang tidak disadari oleh pengidapnya. Nah, biar gak penasaran nih, coba ikut tes berikut ini untuk mengetahui seberapa FoMO anda. Sebuah tes yang dibentuk oleh peneliti dari University of California and University of Rochester di Amerika Serikat. Klik Fear of Missing Out Quiz.
Bersambung…
Referensi
Ann M. King, Sheri L. Johnson, Gerald C. Davison, John M. Neale (2010) . Abnormal Psychology. New York: John Wiley & Sons, Inc
Andrew K. Przybylskia, Kou Murayamab, Cody R. DeHaanc, , Valerie Gladwell Motivational. Emotional, and behavioral correlates of fear of missing out, dalam jurnal Computers in Human Behavior, Volume 29, Issue 4, July 2013, Pages 1841–1848
Catherine Chen, Ph.D (06 Februari 2014) The Fear of Missing Out — and How It’s Killing You, dari http://www.huffingtonpost.com/catherine-chen-phd/the-fear-of-missing-out-and-how-its-killing-you_b_5432120.html
Claire Cohen (May 16, 2013), “FoMo: Do you have a Fear of Missing Out?”, The Daily Telegraph dari http://www.telegraph.co.uk/women/womens-life/10061863/FoMo-Do-you-have-a-Fear-of-Missing-Out.html
Deci,E.L.,& Ryan,R.M. (1985), Intrinsic motivation and self-determination inhuman behavior, Plenum Press
Dan Herman. The Fear of Missing Out (FOMO) dari http://www.danherman.com/The-Fear-of-Missing-Out-%28FOMO%29-by-Dan-Herman.html diakses pada 10 Desember 2015
Gabriel Mizrahi (04 November 2014), “Could Your FOMO Kill You?” http://www.huffingtonpost.com/gabriel-mizrahi/fomo_b_5130364.html
Goffman, Erving. (1956). The Representation of Self in Everyday Life. New York: Anchor Books
Kristi Hedges (27 Maret 2014), “Do You Have FOMO: Fear Of Missing Out?” dari http://www.forbes.com/sites/work-in-progress/2014/03/27/do-you-have-fomo-fear-of-missing-out/
McClelland, David (1961). Motivation and Personality. New York: Harper & Row.
M. Twenge, Jean dan Campbell, W. Keith (2009) The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement. New York: Atria Paperback
Nauert, Rick . Fear of Missing Out Drives Use of Social Media dari http://psychcentral.com/news/2013/04/30/fear-of-missing-out-drives-use-of-social-media/54307.html dilihat pada 05 Januari 2016
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other . New York: Basic Books
https://en.wikipedia.org/wiki/Fear_of_missing_out
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/fomo
http://www.huffingtonpost.com/news/fear-of-missing-out/
http://www.huffingtonpost.com/2013/08/02/fomo-fear-of-missing-out_n_3685195.html
http://psychcentral.com/blog/archives/2011/04/14/fomo-addiction-the-fear-of-missing-out/
lanjut ke bagia 3, menarik juga ya gejala FoMo, pada dasarnya setiap orang memang ingin lebih eksis, namun porsinya yang berbeda itulah mungkin ya yang membedakan org itu mengidap FoMo atau tidak
FoMO lagi ngehits rupanya mengikuti jejak blogger Yos MO yang juga lagi ngehits banget..wakakak
ini gejala gejala nya nih
Baiklah, sepertinya saya baru masuk pada gejala yang pertama. 😀
Btw, artikelnya sukses bikin heboh, Kang. Terima kasih share-nya 🙂
Heboh yang buat artikelnya diserang
Sebelas doa belas ini mah sama banci tampil #ehhh
Nah lo
Sekarang aku tahu….
Aku mau test dulu ah…
Ayo biar tahu
Hasilnya?